BAB
I
PENDAHULUAN
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah
Penyakit yang dihadapi umat islam saat ini sangat
kompleks, bercabang, dan menjalar kemana-mana. Penyakit tersebut telah
menyerang berbagai aspek kehidupan, baik agama maupun sosial.
Namun ada satu hal yang cukup menakjubkan, walaupun
penyakit bertubi-tubi menyerang, umat islam masih bisa bertahan hidup. Runtutan
penyakit yang multi bentuk tersebut tidak menjadikan umat ini hancur. Padahal,
beberapa umat dan suku bangsa banyak yang mengalami kepunahan walau penyakit
yang menyerangnya tidak begitu beragam dan tidak begitu kompleks. Kemungkinan
besar, bisa bertahannya umat islam sehingga bisa hidup sampai saat ini, walau
nampak semakin lemah dan rapuh, adalah keberadaan kitab Allah SWT dan sunah
Rasulullah serta permohonan ampun yang dilakukan oleh orang-orang salih dari
sebagian umat ini.
Diantara penyakit berbahaya yang menimpa umat islam
saat ini adalah penyakit perdebatan yang ditimbulkan dari perbedaan cara
pandang yang akhirnya menimbulkan perselisihan atau perpecahan. Kedua faktor
inilah yang menyebabkan rusaknya peradaban kaum umat islam ini. Mereka
kehilangan etika dan moralitas sedemikian rupa sehingga menjadikan ilmu dan
pengetahuan sebagai modal untuk berselisih. Itu sebabnya mengapa saya ingin
mengambil judul “Perdebatan dalam Pandangan Islam”.
Dari permasalahan-permasalahan yang ditimbulkan oleh
perdebatan itulah, saya merasa tertarik untuk menelitinya dan ingin mengetahui
apakah sebenarnya pedebatan itu dibolehkan dalam islam. Karena selama ini,
banyak orang yang melakukan perdebatan-perdebatan dengan tujuan untuk
menjatuhkan lawannya, merasa dirinya paling benar, dan lain sebagainya. Dan
dalam melakukan penelitian ini, disini saya melakukan pendekatan kualitatif,
serta mencari solusi agar kita mengetahui bagaimana pandangan agama islam
terhadap perdebatan.
B.
Rumusan Masalah
Yang menjadi rumusan masalah dalam penelitian ini
pun diantaranya:
1.
Apa yang dimaksud dengan perdebatan?
2.
Bagaimana pandangan agama islam terhadap
perdebatan?
3.
Apa hukum perdebatan dalam agama islam?
C.
Tujuan Penelitian
Tujuan yang ingin dicapai melalui penelitian dalam
makalah ini adalah sebagai berikut:
1.
Untuk mengetahui apa itu sebenarnya perdebatan
2.
Untuk mengetahui pandangan agama islam
terhadap perdebatan, dan
3.
Untuk mengetahui hukum melakukan
perdebatan dalam agama islam
D.
Manfaat Penelitian
Adapun manfaat dari
penelitian ini adalah sebagai berikut:
1.
Secara teori, hasil penelitian ini
diharapkan dapat menambah wawasan serta memperkaya pengetahuan dari
kajian-kajian teoretis. Juga dapat menjadi bahan rujukan bagi mahasiswa yang
ingin mengadakan penelitian lebih lanjut mengenai hal ini.
2.
Secara Kebijakan, hasil penelitian ini
bahwa perdebatan dalam pandangan islam itu tidak dibolehkan.
3.
Secara Praktek, melalui penelitian ini
diharapkan kita tidak melakukan perdebatan dengan alasan-alasan yang tidak
sesuai dengan pandagan islam.
4.
Secara Isu-Isu Sosial, hasil penelitian
ini diharapkan dapat membantu pemahaman masyarakat mengenai perdebatan yang
tidak diperbolehkan dan harus kita hindari.
E.
Metode Penelitian
Penelitian
ini merupakan penelitian yang bersifat Studi Pustaka, yang mana analisis
pembahasan menggunakan pendekatan kualitatif. Bentuk analisis ini menekankan
pada pengungkapan teori yang meninjau lebih dalam pada pembahasan mengenai
perdebatan dalam pandangan islam.
F.
Sistematika Penulisan Makalah
Bab I Pendahuluan, Dalam
pendahuluan, disini saya kemukakan latar belakang masalah dalam penelitian
yaitu alasan memilih judul, urgensi dan pendekatan/solusi, rumusan masalah
berupa kajian apa saja yang akan dikaji dalam makalah ini, tujuan penelitiannya
yaitu hal-hal yang ingin dicapai melalui penelitian pendidikan ini, manfaat
penelitian berupa teori, kebijakan, praktek dan isu-isu sosial, dan sistematika
penulisan makalah yang di bentuk deksriftif.
Bab II Kajian Pustaka, Bab
ini menjelaskan secara rinci tentang apa itu perdebatan, bagaimana pandangan
agama islam terhadap perdebatan, dan bagaimana hukum perdebatan dalam islam.
Bab III Simpulan dan
Saran, Simpulan,
berisi tentang uraian-uraian yang mencakup jawaban dari rumusan masalah dan
saran disajikan secara relevan baik yang bersifat teoretis maupun praktis serta
untuk pembahasan lebih lanjut.
BAB
II
PERDEBATAN DALAM PANDANGAN ISLAM
PERDEBATAN DALAM PANDANGAN ISLAM
A. Hakikat
Perdebatan
Ikhtilaf,
dalam istilah lain disebut mukhalafah
(perbedaan), yaitu perbedaan cara pandang antara satu orang dengan orang lain,
baik dalam perbuatan atau perkataan. Kata al-khilaf
(berbeda) lebih umum maknanya dibanding
dengan kata adh-dhid (berlawanan). Sebab
dua hal yang berlawanan pasti berbeda, tapi tiap-tiap yang berbeda belum tentu
berlawanan.
Kalau perbedaan masyarakat dalam pendapat telah
mengarah kepada pertengkaran, maka kata ikhtilaf
dipinjam untuk makna munazaah
(saling bertengkar) dan mujadalah
(berdebat), Allah SWT berfirman: “maka berselisihlah golongan-golongan yang ada
diantara mereka (yaitu orang-orang
yahudi dan nasrani atau sesama yahudi begitu juga sesama nasrani)” [Q.S 19:37].
Kalau salah seorang atau keduannya dari peserta ikhtilaf makin memuncak perbedaannya baik
dalam pendapat, pemikiran dan pandangan-serta berusaha untuk menolak,
menundukan dan memaksa lawan bicaranya agar mau menerima pemikirannnya, maka
perselisihan itu disebut jidal
(perdebatan).
Secara bahasa jidal berarti berbeda pendapat dengan
cara bertengkar dan saling mengalahkan. Kata jidal diambil dari sebuah ungkapan
orang arab, “jadaltul habl” (aku
memintal benang). Sebab, orang yang melakukan mujadalah akan berusaha “memintal” lawan bicara dengan sekuat
tenaga agar mau menerima pendapatnya.
Adapun yang dimaksud dengan ilmu jidal adalah ilmu yang meneliti beberapa
dalil untuk menemukan pendapat hukum yang lebih kuat. Sebagian ulama menyatakan
bahwa ilmu jidal adalah ilmu yang bisa mempertahankan pendapat yang ada
walaupun salah dan mematahkan pendapat yang lain walaupun benar.
Dari kedua definisi diiatas Nampak adanya pengaruh
dari sisi kebahasaan. Sebab, definisi diatas menjelaskan bahwa ilmu jidal
adalah ilmu yang tidak berkolerasi dengan dalil-dalil tertentu. Dan jika
seperti itu, jidal hanyalah kemampuan dan bakat yang dimiliki seseorang tanpa ada kaitannya dengan dalil
alquran, sunnah rasulullah serta dalil-dalil yang lain.
Menurut kamus bahasa Indonesia kata “Debat” adalah
pembicaraan yang berisi berbantah-bantah, saling menyangga mempertahankan
pendapat (sifatnya bertukar pikiran) adapun “perdebatan” adalah soal yang
diperdebatkan, perbantahan. Jadi, debat adalah kegiatan adu argumentasi
antara dua pihak atau lebih, baik secara perorangan maupun kelompok, dalam
mendiskusikan dan memutuskan masalah dan perbedaan.
Kalau perdebatan antara dua orang semakin memuncak
dan masing-masing berusaha mengalahkan lawan bicara tanpa mempertimbangkan hak
dan kebenaran yang sesungguhnya, bahkan sama sekali tidak ada saling pengertian
dan indikasi ke arah kesepakatan bersama, maka perbedaan pendapat tersebut
disebut asy-syiqaq.
Kata syiqaq
digunakan untuk menggambarkan satu posisi sebuah benda yang ada ditempat
tertentu yang berjauhan dengan benda yang lain. Seolah-olah kedua benda
tersebut tidak bisa bersama-sama dalam satu ruang atau tempat tertentu. Dalam
Al-qur’an terdapat sebuah ungkapan:
Jika kamu
sekalian takut terjadi syiqaq diantara keduanya (suami istri)…(Q.S
4:35) yang dimaksud syiqaq dalam ayat
tersebut adalah perbedaan yang tajam dan berakhir dengan pertengkaran, sehingga
membuat pasangan suami istri yang berselisih tersebut, berpisah di dua tempat
yang berbeda (bercerai).
Ayat yang sama memuat kata syiqaq dan mengandung arti yang sama adalah: “Sesungguhnya mereka ada dalam perselisihan yang tajam (syiqaq)” (Q.S
2:137)
B.
Perdebatan Dalam Pandangan Islam
Manusia merupakan mahluk sosial, mahluk sempurna dan
memiliki adab-adab yang baik dalam kesehariannya. Didalam hubungan antar sesama
tentulah dibutuhkan adanya komunikasi untuk saling memberikan ataupun menerima
informasi satu sama lain. Dalam beberapa tingkat komunikasi tentu tidak pula
bisa dihindari adanya perbedaan pendapat, atau perdebatan. Allah SWT berfirman
:
“Dan di antara manusia ada orang yang
ucapannya tentang kehidupan dunia menarik hatimu, dan dipersaksikannya kepada
Allah (atas kebenaran) isi hatinya, padahal ia adalah penantang yang paling
keras. Dan apabila ia berpaling (darimu), ia berjalan di bumi untuk mengadakan
kerusakan padanya, dan merusak tanaman-tanaman dan binatang ternak, dan Allah
tidak menyukai kebinasaan,” (Al-Baqarah: 204-205)
Allah SWT berfirman : “Maka sesungguhnya, telah kami mudahkan Al-Qur’an itu dengan bahasamu,
agar kamu dapat memberi kabar gembira dengan Al-Qur’an itu kepada orang-orang
yang bertakwa, dan agar kamu memberi peringatan dengannya kepada kaum yang
membangkang,” (Maryam: 97).
Allah SWT berfirman : “Mereka tidak memberikan perumpamaan itu kepadamu melainkan dengan
maksud membantah saja, sebenarnya mereka adalah kaum yang suka bertengkar,”
(Az-Zukhruf : 58).
Diriwayatkan dari Abu Umamah r.a., ia berkata:
“Rasulullah SAW.bersabda, ‘Tidaklah sesat
suatu kaum setelah mendapat petunjuk kecuali karena mereka gemar berdebat.
Kemudian Rasulullah saw. membacakan ayat, ‘Mereka
tidak memberikan perumpamaan itu kepadamu melainkan dengan maksud membantah
saja, sebenarnya mereka adalah kaum yang suka bertengkar.’ (Az-Zukhruf:
58).” (Hasan, HR Tirmidzi [3253], Ibnu Majah [48], Ahmad [V/252-256], dan Hakim
[II/447-448]).
Diriwayatkan dari ‘Aisyah r.a., ia berkata,
“Rasulullah SAW. bersabda, ‘Orang yang
paling dibenci Allah adalah orang yang paling keras penantangnya lagi lihai
bersilat lidah’.” (HR Bukhari [2457] dan Muslim [2668]).
Diriwayatkan dari Ziyad bin Hudair, ia berkata,
“Umar pernah berkata kepadaku, ‘Tahukah
engkau perkara yang merobohkan Islam?’ ‘Tidak!
Jawabku.’ Umar berkata, ‘Perkara yang
merobohkan Islam adalah ketergelinciran seorang alim, debat orang munafik
tentang Al-Qur’an dan ketetapan hukum imam yang sesat’.” (Shahih, HR
Ad-Darimi [I/71], al-Khatib al-Baghdadi dalam kitab al-Faqiih wal Mutafaqqih
[I/234], Ibnul Mubarak dalam az-Zuhd [1475], Abu Nu’aim dalam al-Hilyah
[IV/196]).
Diriwayatkan dari Abu Ustman an-Nahdi, ia berkata,
“Aku duduk di bawah mimbar Umar, saat itu beliau sedang menyampaikan khutbah
kepada manusia. Ia berkata dalam khutbahnya, Aku mendengar Rasulullah SAW.
bersabda, ‘Sesungguhnya, perkara yang
sangat aku takutkan atas ummat ini adalah orang munafik yang lihai bersilat
lidah’.” (Shahih, HR Ahmad [I/22 dan 44], Abu Ya’la [91], Abdu bin Humaid
[11], al-Firyabi dalam kitab Shifatul Munaafiq [24], al-Baihaqi dalam Syu’abul
Iimaan [1641]).
Diriwayatkan dari Abu Hurairah r.a., dari Rasulullah
“Perdebatan SAW tentang Al-Qur’an dapat
menyeret kepada kekufuran.” (HR Abu Daud [4603], Ahmad [II/286, 424, 475,
478, 494, 503 dan 528], Ibnu Hibban [1464]).
Diriwayatkan dari ‘Abdullah bin ‘Amru r.a., ia
berkata, “Pada suatu hari aku datang menemui Rasulullah SAW pagi-pagi buta.
Beliau mendengar dua orang lelaki sedang bertengkar tentang sebuah ayat. Lalu
beliau keluar menemui kami dengan rona wajah marah. Beliau berkata, ‘Sesungguhnya, perkara yang membinasakan
ummat sebelum kalian adalah perselisihan mereka al-Kitab’.” (HR Muslim
[2666]).
Diriwayatkan dari ‘Amru bin Syu’aib, dari ayahnya,
dari kakeknya (yakni ‘Abdullah bin ‘Amru r.a.), bahwa suatu hari Rasulullah SAW
mendengar sejumlah orang sedang bertengkar, lantas beliau bersabda, “Sesungguhnya, ummat sebelum kalian binasa
disebabkan mereka mempertentangkan satu ayat dalam Kitabullah dengan ayat lain.
Sesungguhnya Allah menurunkan ayat-ayat dalam Kitabullah itu saling membenarkan
satu sama lain. Jika kalian mengetahui maksudnya, maka katakanlah! Jika tidak,
maka serahkanlah kepada yang mengetehuinya.” (Hasan, HR Ibnu Majah [85],
Ahmad [II/185, 195-196], dan al-Baghawi dalam Syarhus Sunnah [121]).
Nabi Muhammad S.A.W bersabda; “Aku akan menjamin
sebuah rumah di dasar surga bagi orang yang meninggalkan debat meskipun dia
berada dalam pihak yang benar. Dan aku menjamin sebuah rumah di tengah surga
bagi orang yang meninggalkan dusta meskipun dalam keadaan bercanda. Dan aku
akan menjamin sebuah rumah di bagian teratas surga bagi orang yang membaguskan
akhlaknya.” (HR. Abu Dawud dalam Kitab al-Adab, hadits no 4167. Dihasankan oleh
al-Albani dalam as-Shahihah [273] as-Syamilah).
Nabi Sulaiman ‘alaihissalam berkata kepada putranya:
“Tinggalkanlah mira’ (jidal,berdebat karena ragu-ragu dan menentang) itu,
karena manfaatnya sedikit. Dan ia membangkitkan permusuhan di antara
orang-orang yang bersaudara.” (Ad-Darimi: 309, al Baihaqi, Syu’abul Iman: 1897).
Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhumaa “Cukuplah engkau
sebagai orang zhalim bila engkau selalu mendebat. Dan cukuplah dosamu jika kamu
selalu menentang, dan cukuplah dosamu bila kamu selalu berbicara dengan selain
dzikir kepada Allah.” (al-Fakihi dalam Akhbar Makkah).
Abud Darda radhiyallahu ‘anhu “Engkau tidak menjadi
alim sehingga engkau belajar, dan engkau tidak disebut mengerti ilmu sampai
engkau mengamalkannya. Cukuplah dosamu bila kamu selalu mendebat, dan cukuplah
dosamu bila kamu selalu menentang. Cukuplah dustamu bila kamu selalu berbicara
bukan dalam dzikir tentang Allah.” (Darimi: 299).
Muslim Ibn Yasar rahimahullah “Jauhilah perdebatan,
karena ia adalah saat bodohnya seorang alim, di dalamnya setan menginginkan
ketergelincirannya.” (Ibnu Baththah, al- Ibanah al-Kubra; Darimi: 404).
Umar ibn Abdul Aziz rahimahullah “Barangsiapa
menjadikan agamanya sebagai sasaran untuk perdebatan maka ia akan banyak
berpindah-pindah(agama).” (Ibnu Baththah, al-Ibanah al-Kubra: 565)
C.
Hukum Perdebatan Dalam Islam
Ayat-ayat dan hadits-hadits yang disebutkan
di atas secara tegas melarang jidal dan perdebatan. (Akan tetapi) siapa saja
yang mentadabburi ayat-ayat Al-Qur’an dan hadits-hadits Rasulullah serta atsar
para Salaf tentu akan mendapati anjuran beradu argumentasi dan berdebat. Di
antaranya adalah firman Allah SWT “Serulah
(manusia) kepada jalan Rabb-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan
bantahlah mereka dengan cara yang lebih baik.” (An-Nahl: 125).
Allah SWT berfirman : “Dan janganlah kamu berdebat dengan Ahli
Kitab, melainkan dengan cara yang paling baik,” (Al-Ankabuut: 46).
Ayat-ayat dalam Kitabullah tidaklah
bertentangan satu sama lainnya, bahkan saling membenarkan. Dari situ dapatlah
kita ketahui bahwa jidal dan debat yang dicela dalam Al-Qur’an tidak sama
dengan jidal dan debat yang dianjurkan. Jidal dan debat itu ada yang terpuji
dan ada yang tercela. Kedua jenis itu sama-sama disebutkan dalam Al-Qur’an. Adapun
jidal yang tercela disebutkan dalam firman Allah SWT: “(Yaitu) orang-orang yang memperdebatkan ayat-ayat Allah tanpa alasan
yang sampai kepada mereka. Amat besar kemurkaan (bagi mereka) di sisi Allah dan
di sisi orang-orang yang beriman. Demikianlah Allah mengunci mati hati orang
yang sombong dan sewenang-wenang.(QS.Al-Mu’min: 35)
Jadi jelaslah, jidal yang tercela itu
adalah jidal tanpa hujjah, jidal dalam membela kebathilan dan berdebat tentang
Al-Qur’an untuk mencari-cari fitnah dan takwil bathil. Adapun jidal yang
terpuji adalah nasihat untuk Allah, Rasul-Nya, Kitab-Nya, para imam dan segenap
kaum Muslimin. Nabi Nuh as sering beradu argumentasi dengan kaumnya hingga
beliau menegakkan hujjah atas mereka dan menjelaskan kepada mereka jalan yang
benar.
Allah SWT berfirman : “Hai Nuh, sesungguhnya kamu telah berbantah
dengan kami, dan kamu telah memperpanjang bantahanmu terhadap kami,” (Huud:
32).
Demikianlah sunnah Rasulullah saw. dan
sirah (sejarah hidup) generasi Salaf terdahulu r.a. Jadi jelaslah, jidal yang
terpuji tujuannya adalah membela kebenaran dan untuk mencari kebenaran, untuk
menampakkan kebathilan dan menjelaskan kerusakannya. Adapun jidal yang tercela
adalah sikap menentang dan bersitegang urat leher dalam adu argumentasi untuk
membela kebathilan dan menolak kebenaran.
Ibnu Hibban berkata (IV/326), “Jika
seseorang berdebat tentang Al-Qur’an, maka apabila Allah tidak melindunginya ia
akan terseret kepada keraguan dalam mengimani ayat-ayat mutasyabihat. Jika sudah disusupi keraguan, maka ia akan
menolaknya. Rasulullah saw. menyebutnya sebagai kekufuran yang merupakan salah
satu bentuk penolakan yang berpangkal dari perdebatan.”
Oleh sebab itu, seorang Muslim harus
mengimani seluruh ayat-ayat Al-Qur’an, yang muhkam
maupun yang mutasyaabih. Karena
semuanya berasal dari Allah. Jika ia tidak mengetahui, hendaklah bertanya
kepada ahli ilmu atau menyerahkan masalah kepada orang yang mengetahuinya. Ia
tidak boleh bertanya kepada orang yang tidak mengetahuinya.
Perselisihan tentang Al-Qur’an dapat
menyeret kepada sikap mempertentangkan satu ayat dengan ayat lainnya. Kemudian
dari situ akan muncul sikap melepaskan diri dari hukum-hukumnya dan mengubah
hukum halal haramnya. Kemudian akan berlakulah sunnatullah pada ummat terdahulu
atas orang-orang yang saling berselisih itu, yakni kebinasaan dan kehancuran.
Perdebatan dalam agama yang tidak sesuai
dengan aturan syar’i merupakan salah satu di antara penyakit lisan yang
sangat berbahaya. Dan merupakan sebab terjadinya perpecahan, pemutusan
hubungan, saling menjauhi di antara sesama kaum muslimin. Perdebatan juga bisa
menjadi sebab keras dan sesaknya hati karena bisa melahirkan kedengkian kepada
kaum muslimin lainnya, ditambah dengan banyaknya waktu yang terbuang akibat
melakukan perdebatan ini dan kurangnya manfaat yang lahir darinya.
Karenanya Allah Ta’ala dan Rasul-Nya
telah menutup semua wasilah menuju kepada perdebatan yang tidak bermanfaat,
dengan memberikan janji surga kepada orang yang meninggalkan perdebatan
walaupun dia yang benar, dan sebaliknya Allah sangat murka kepada orang-orang
yang dengan mudahnya terjun dalam perdebatan tanpa mengindahkan aturan- aturan
syariat di dalamnya.
Dan telah benar Allah dan Rasul-Nya,
bahwa setiap orang yang terjun ke dalam perdebatan yang tidak berguna pasti
akan berakhir pada kesesatan, kecuali mereka yang masih dirahmati oleh Allah,
dan sangat sedikit sekali jumlah mereka ini. Tidakkah kita mengambil pelajaran
dari orang-orang yang telah berlalu sebelum kita, yang mereka ini lebih berilmu
dibandingkan kita, bagaimana akhirnya mereka terjerumus ke dalam kesesatan
akibat mereka berdebat dalam masalah agama, walaupun ada segelintir di antara
mereka yang masih bisa kembali kepada kebenaran. Sebut saja di antaranya: Jahm
bin Shafwan penyebar mazhab Jahmiah, Washil bin Atha’ pencetus mazhab
Mu’tazilah, Imam Al- Ghazali, Fakhrur Razi, Asy- Syahrastani, dan selainnya.
Karenanya para ulama di setiap zaman
menegaskan dalam kitab-kitab akidah mereka, bahwa di antara ciri khas
Ahlussunnah adalah menjauhi semua bentuk perdebatan. Karenanya siapa saja yang
terjun dalam perdebatan dalam agama maka dia telah bermain-main di daerah
terlarang, yang bisa mengeluarkan dia dari Ahlussunnah. Maka ini menunjukkan
bahwa hukum asal perdebatan dalam agama adalah haram, kecuali jika
terpenuhi syarat- syaratnya, yaitu:
1. Ikhlas guna meninggikan kalimat Allah,
bukan dengan niat untuk menjadi tenar.
2. Orang yang berdebat harus mapan
keilmuannya dalam masalah yang dia perdebatkan. Jika dia orang yang jahil atau
ilmunya masih setengah- setengah maka diharamkan atasnya
3. Dia yakin -atau dugaan besar- dia
bisa menang. Jika dia tidak yakin bisa menang maka dia wajib meninggalkan
perdebatan itu.
4. Ada kemungkinan pihak lawan jika dia
kalah maka dia akan kembali kepada kebenaran. Jika pihak lawan diketahui
sebagai orang yang keras kepala dan tidak akan bertaubat walaupun kalah maka
tidak boleh berdebat dengannya.
5. Jika dia tidak berdebat maka
kebenaran akan tertutupi dan kebatilan yang akan menyebar.
6. Ada maslahat (kebaikan) darinya, baik
yang kembalinya kepada pihak lawan dengan dia bertaubat maupun yang kembalinya
kepada masyarakat dengan mereka menjauhi pihak lawan tersebut.
Adapun jika tidak ada manfaatnya sama
sekali, walaupun mereka kalah tapi masyarakat tetap tidak goyah dalam mengikuti
mereka maka ini perdebatan itu adalah perbuatan sia-sia.
Dari Abu Hurairah RA, bahwasannya Nabi
SAW bersabda: "Hentikanlah (menanyai)ku tentang apa yang aku abaikan untuk
kalian. Sesungguhnya ummat yang sebelum kalian telah binasa karena mereka
banyak bertanya dan mendebat para nabi mereka. Jika aku melarang kalian tentang
sesuatu maka jauhilah dan jika aku memerintahkan kalian terhadap sesuatu maka
lakukanlah semampu kalian." (Hadits Riwayat Bukhari dan Muslim)
Suatu hari Rasulullah tengah berkhutbah
di hadapan manusia. "Wahai manusia sekalian, Allah telah mewajibkan atas
kalian haji," teriak beliau. Tiba-tiba ada seorang pendengar bertanya,
"Apakah setiap tahun wahai Rasulullah?" Tapi beliau tidak menjawab.
Orang itu pun mengulang pertanyaannya hingga tiga kali. Kemudian beliau
berkata, "Seandainya aku katakan ya, tentu itu wajib hukumnya, tapi
semampumu." Selanjutnya beliau menyabdakan hadits di atas.
Dalam peristiwa yang menjadi sabab wurud
(sebab munculnya) hadits tersebut Nabi secara terang-terangan melarang debat.
Dalam hadits itu, Rasulullah mengajarkan
kepada kaum Muslimin untuk efisien dalam berbicara dengan hanya menanyakan hal
yang penting-penting saja. Banyak orang memburu jawaban dengan pertanyaan yang
tidak berguna karena semata-mata ingin mencari keasyikan berdebat. Selain tidak
bermakna, tindakan ini jelas akan menyia-nyiakan waktu dan berpeluang untuk
menimbulkan penyakit hati ghil (tidak
suka) yang bisa berujung pada permusuhan.
Perilaku demikian adalah ciri khas Bani
Israil (Yahudi) seperti diabadikan Allah dalam surat al-Baqarah ayat 67-74.
Ketika itu mereka diperintahkan untuk menyembelih seekor sapi. Tetapi mereka
sengaja mempermainkan Nabi dan mempersulit diri mereka sendiri dengan
pertanyaan yang dibuat-buat.
Lain halnya dengan pertanyaan (diskusi)
yang dimaksudkan sebagai proses belajar-mengajar. Hal itu justru menjadi
keharusan asal adabnya tetap dijaga. Allah berfirman, "Maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika
kamu tidak mengetahui." (an-Nahl: 43) Atau juga dalam rangka da'wah
yang dalam al-Qur'an disebut dengan mujadalah. Diskusi yang didasari oleh
semangat kasih sayang dan kebenaran ini justru diperintahkan oleh Allah. "Wajaadilhum billatii hiya ahsan."
Dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. (an-Nahl:125).
Contoh debat yang tidak membawa faedah
misalnya adalah pembahasan yang `liar' tentang hal-hal yang gaib misalnya
Allah, hari kiamat, ruh, masalah hidup ummat manusia dan hal-hal lain yang
hanya dapat diketahui lewat dalil naqli
saja. Pertanyaan-pertanyaan itu bila difahami secara mendalam hanya akan semakin
membingungkan dan menambah keraguan sehingga bisa berakhir pada kesesatan.
Telah diriwayatkan bahwa Nabi Shalallaahu `alaihi wa sallam berkata, "Ummat manusia itu akan selalu
bertanya-tanya sehingga nanti dikatakan ini adalah yang telah menciptakan semua
makhluk, lalu siapa yang menciptakan Allah?"
Kebiasaan berdebat adalah penyakit.
Untuk mengobatinya harus ditempuh sejumlah solusi.
Pertama, memenuhi kalbu dengan ma'rifat, tauhid dan ketakwaan kepada
Allah. Dengan cara ini seseorang akan selalu bersikap dan berucap dengan niat
dan metode ilahiyyah. Apa yang
dilakukannya dalam diskusi tidak diorientasikan untuk mencari kemenangan, tapi
kebenaran. Sehingga ia akan meninggalkan ego pribadinya serta menjauhi sikap
kibr dan merendahkan orang lain.
Kedua, Senantiasa memelihara adab Islami
dalam berbicara, mengkritik, bertanya dan menyampaikan pendapat. Antara lain,
dengan cara yang bijaksana, hormat, lembut dan lain-lain. Dengan begitu, lawan
bicara akan merasa dihargai sehingga terjadi komunikasi yang indah dan
bermanfaat, jauh dari egoisme dan semangat saling mengalahkan.
Ketiga, menghayati akibat buruk yang
timbul dari kebiasaan berdebat. Antara lain tidak mendorong orang untuk
beramal, tapi hanya memperbanyak bicara. Padahal kata Umar bin Khatab, banyak bicara
maka banyak bias, banyak bias berarti banyak dosa dan banyak dosa berarti masuk
neraka.
Keempat, belajar bersikap jantan dan
obyektif dalam menerima kebenaran dari orang lain.
Kelima, mengobati hati dari penyakit ujub, ghurur dan takabbur.
Keenam, berusaha bergaul dengan
komunitas (jama'ah) yang jauh dari kultur debat dan cuma banyak bicara.
Dengan menghindari diri dari debat
setiap muslim akan menjadi mulia, baik di sisi manusia dan Allah. Terlebih,
Allah juga akan menjadikannya sebagai ahli surga.
Selanjutnya, untuk lebih memperjelas
lagi, disini saya memaparkan sebuah cerita yang erat kaittannya dengan
permasalahan yang dibahas dalam makalah ini. “Suatu saat Yunus bin abdul A’la,
seorang faqih mesir terlibat perdebatan dengan Imam As-syafi’I”. Namun tidak
seperti biasanya yang terjadi pada mereka yang terlibat perdebatan. Yunus tidak
marah, bahkan beliau amat terkesan dengan sikap Imam As-Syafi’I, hingga beliau
mengatakan, “Aku tidak melihat orang berakal melebihi As-Syafi’I, aku mendebatnya
tentang suatu masalah pada suatu hari, kemudian kami berpisah, lalu dia
menemuiku, dan menggandeng tanganku, lalu berkata kepadaku: “Wahai Abu Musa,
bukankah lebih baik kita tetap berteman walau kita tidak sepakat dalam suatu
masalah?”
Mengenai sifat mulia Imam As-Syafi’I
putra dalam perdebatan abu Utsman, putra beliau juga pernah mengatakan: “Aku
sekali-kali tidak pernah mendengar ayahku mendebat seseorang dengan meninggikan
suaranya” (Tahdzib Al-asma’wa Al-Lughat, 1/66)
Bahkan ahmad bin Khalid bin Khalal juga
pernah mendengar sendiri bahwa Imam As-Syafi’I mengatakan, “ketika aku mendebat
seseorang aku tidak menginginkan dia jatuh kepada kesalahan.” (Tawali At-Ta’sis
hal.65)
As-syafi’ juga berkata, “Aku berdebat
tidak hanya untuk menjatuhkan orang.”
(Tahdzib Al-Asma Wa Al-lughat, 1/66)
Demikianlah ulama itu berdebat, tidak
ada dampak negatif dari perdebatan itu, karena mereka berdebat untuk mencari
kebenaran, bukan untuk merendahkan, mencari atau memprertahankan pengikut.
Mereka tidak berdebat agar dipandang alim (pandai), serta karena tujuan duniawi
lainnya. Sehingga , perdebatannya tetap pada koridor adab dan akhlaq.
Imam Al-ghazali mengumpamakan bahwa orang yang berdebat
seperti orang mencari barang yang hilang. Ia tidak membeda-bedakan apakah
barang itu ia temukan sendiri atau ditemukan orang lain yang membatunya.
Ia melihat lawan debatnya seperti
partner, bukan musuh. Ia mestinya berterimakasih jika lawannya menunjukan kepadanya kesalahannya, seperti seseorang
yang menempuh suatu jalan untuk mencari
barangnya yang hilang, namun ada orang lain yang memberi tahu bahwa ia harus
menempuh jalan lain untuk mendapatkan barangnya.
Perdebatan yang demikianlah yang
ditempuh para sahabat, tabi’in dan para imam besar terdahulu. Umar bin Al-khathtab
Radhiyallahu ‘anhu sendiri ketika diingatkan oleh seorang wanita, saat beliau
berkhutbah di hadapan khalayak pun mengatakan jujur ketika melihat bahwa yang
dikatakan wanita itu benar, “Umar salah,
wanita itu benar!” Demikian pula Ali
Radiyallahu ‘anhu menjawab pertanyaan seorang laki-laki, kemudian ada yang
mengkritik beliau, “Tidak demikain wahai
Amirul Mukminin, namun demikian-demikian.”
Maka beliau mengatakan , “Anda
benar, saya salah”. Sebagaimana juga para sahabat juga bermusyawarah mengenai had bagi peminum
khamr dan beberapa masalah dalam faraidh.
Adapun perdebatan orang-orang setelah
masa para imam berlalu sudah berubah. Imam Alghazali sendiri mengkritik keras
orang-orang sezaman dengan beliau yang melakukan perdebatan bukan sebagai
bentuk kerjassama untuk mencari kebenaran dengan penuh keheranan, “Lihatlah
para pendebat di sebagaimana juga emosi mereka luap, lantas berpayah-payah,
dengan seluruh kemampuan untuk menentangnya. Bagaimana ia mencela perdebatannya
seumur hidupnya, kemudian dia tidak malu dengan menyerupakan diri sebagai
sahabat dalam sharing untuk mencari kebenaran?” (Al-Ihya, 1/74)
Debat demikianlah yang menhancurkan umat
islam sendiri, sebagaimana disebutkan dalam sebuah Hadits, “Tidak ada kaum yang tersesat dari hidayah
yang mereka ada didalamnya, kecuali didatangkan kepada merka perddebatan.” (Riwayat
At-Tirmidzi, Hadits hasan shahih).
Perdebatan yang bertujuan untuk
merendahkan pihak lain, atau menonjolkan
diri sendiri serta mencari dunia, merupakan sumber timbulnya banyak maksiat.
Imam Al-Ghazali menyebutkan beberapa penyakit yang menyerang mereka yang
mencampakkan diri dalam aktivitas ini:
1.
Hasad
(Iri) pendebat terkadang menang dan kalah. Kadang ada yang memujinya, dan
kadang pujian itu diberikan untuk lawannya. Kondisi semacam ini bisa
menimbulkan rasa hasad pada hatinya, menginginkan agar lawannya kehilangan
nikmat, termasuk ilmu, kesempatan atau lainnya.
2.
Takabur
dan riya’. Mereka yang suka berdebat
dengan tujuan menonjolkan diri akan terjangkit penyakit takabur. Ia akan
berusaha merendahkan lawan debatnya, dan meninggikan dirinya sendiri di hadapan
orang lain. Kaddang ia memberika pernyataan bahwa lawannya bodoh, tidak paham
atau memilikai sedikit ilmu. Disamping itu, penyakitnya sering menjangkit
mereka, karena ingin menampakkan apa yang ia rasa sebagai kelebihan kepada
manusia.
3.
Memuji diri sendiri. Pendebat sering
kali menyanjung dirinya sendiri disaat berdebat. Kadang ia mengatakan, “Saya
menguasai ilmu ini”, “Saya hafal Hadits ini”. Hal itu dilakukan untuk mempromosikan
apa yang ia sampaikan.
4.
Tajassus
(mencari-cari aib). Mencari-cari “aurat” manusia seringkali dilakukan pendebat
terhadap lawannya. Terkadang ia mencari informasi sampai ke negri dimana
lawannya tinggal, untuk mencari hal-hal buruk darinya, yang ia simpan
pengetahuan itu untuk dijadikan bekal untuk menjatuhkan lawannya.
5.
Ghibah.
Yang kadang tidak bisa dihindarkan dari pendebat yang didasari niat yang salah
adalah menceritakan dan menyebarkan kelemahan dan kekurangan lawannya kepada
pihak lain, setelah ia melakukan perdebatan dengan seseorang.
6.
Nifaq.
Yang dimaksud di sini adalah perdebatan Dhahir pendebat yang bertentangan
dengan apa yang ada di dalam hati. Pendebat biasanya basa-basi, memperlihatkan
keramahan dan kegembiraan jika bertemu dengan lawannya, namun sejatinya dalam
hatinya terbersit kebencian yang cukup besar.
Jika demikian, dampak buruk dari
perdebatan yang ditimbulkan akibat salah niat maka hendaknya seseorang
mempertanyakan kembali niatnya. Ketika ia memutuskan untuk berdebat baik dengan
lisan maupun tuliskan hendaknya meluruskan niatnya, sehingga terhindar dari
penyakit-penyakit hati yang cukup membahayakan dirinya sendiri.
BAB
III
PENUTUP
PENUTUP
A.
Simpulan
Jadi, pedebatan yang diharamkan di dalam
islam itu adalah perdebatan yang tercela. Yaitu perdebatan atau jidal yang
tanpa hujjah, atau jidal dalam
membela kebathilan dan berdebat tentang Al-Qur’an untuk mencari-cari fitnah dan
takwil bathil.
Seperti dalam firman Allah SWT: “(Yaitu) orang-orang yang memperdebatkan
ayat-ayat Allah tanpa alasan yang sampai kepada mereka. Amat besar kemurkaan
(bagi mereka) di sisi Allah dan di sisi orang-orang yang beriman. Demikianlah
Allah mengunci mati hati orang yang sombong dan sewenang-wenang.(QS.Al-Mu’min:
35)
Oleh karena itu, perdebatan dalam agama
yang tidak sesuai dengan aturan syar’i merupakan salah satu di antara
penyakit lisan yang sangat berbahaya, dan merupakan penyebab terjadinya suatu
perpecahan.
B.
Saran
Dengan dibuatnya makalah ini, disini penulis
menyarankan untuk kita semua agar bisa lebih berhati-hati jika melakukan
perdebatan yang menimbulkan dampak negatif setelahnya atau saat dilakukannya
perdebatan itu. Karena pada dasarnya perdebatan yang baik itu adalah untuk
mencari solusi atau kebenaran bukan untuk saling menjatuhkan, atau menonjolkan
diri sendiri.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar