Sabtu, 06 April 2013

perdebatan dalam pandangan islam


BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang Masalah
Penyakit yang dihadapi umat islam saat ini sangat kompleks, bercabang, dan menjalar kemana-mana. Penyakit tersebut telah menyerang berbagai aspek kehidupan, baik agama maupun sosial.
Namun ada satu hal yang cukup menakjubkan, walaupun penyakit bertubi-tubi menyerang, umat islam masih bisa bertahan hidup. Runtutan penyakit yang multi bentuk tersebut tidak menjadikan umat ini hancur. Padahal, beberapa umat dan suku bangsa banyak yang mengalami kepunahan walau penyakit yang menyerangnya tidak begitu beragam dan tidak begitu kompleks. Kemungkinan besar, bisa bertahannya umat islam sehingga bisa hidup sampai saat ini, walau nampak semakin lemah dan rapuh, adalah keberadaan kitab Allah SWT dan sunah Rasulullah serta permohonan ampun yang dilakukan oleh orang-orang salih dari sebagian umat ini.
Diantara penyakit berbahaya yang menimpa umat islam saat ini adalah penyakit perdebatan yang ditimbulkan dari perbedaan cara pandang yang akhirnya menimbulkan perselisihan atau perpecahan. Kedua faktor inilah yang menyebabkan rusaknya peradaban kaum umat islam ini. Mereka kehilangan etika dan moralitas sedemikian rupa sehingga menjadikan ilmu dan pengetahuan sebagai modal untuk berselisih. Itu sebabnya mengapa saya ingin mengambil judul “Perdebatan dalam Pandangan Islam”.
Dari permasalahan-permasalahan yang ditimbulkan oleh perdebatan itulah, saya merasa tertarik untuk menelitinya dan ingin mengetahui apakah sebenarnya pedebatan itu dibolehkan dalam islam. Karena selama ini, banyak orang yang melakukan perdebatan-perdebatan dengan tujuan untuk menjatuhkan lawannya, merasa dirinya paling benar, dan lain sebagainya. Dan dalam melakukan penelitian ini, disini saya melakukan pendekatan kualitatif, serta mencari solusi agar kita mengetahui bagaimana pandangan agama islam terhadap perdebatan.

B.     Rumusan Masalah
Yang menjadi rumusan masalah dalam penelitian ini pun diantaranya:
1.      Apa yang dimaksud dengan perdebatan?
2.      Bagaimana pandangan agama islam terhadap perdebatan?
3.      Apa hukum perdebatan dalam agama islam?

C.     Tujuan Penelitian
Tujuan yang ingin dicapai melalui penelitian dalam makalah ini adalah sebagai berikut:
1.      Untuk mengetahui apa itu sebenarnya perdebatan
2.      Untuk mengetahui pandangan agama islam terhadap perdebatan, dan
3.      Untuk mengetahui hukum melakukan perdebatan dalam agama islam

D.    Manfaat Penelitian
Adapun manfaat dari penelitian ini adalah sebagai berikut:
1.      Secara teori, hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah wawasan serta memperkaya pengetahuan dari kajian-kajian teoretis. Juga dapat menjadi bahan rujukan bagi mahasiswa yang ingin mengadakan penelitian lebih lanjut mengenai hal ini.
2.      Secara Kebijakan, hasil penelitian ini bahwa perdebatan dalam pandangan islam itu tidak dibolehkan.
3.      Secara Praktek, melalui penelitian ini diharapkan kita tidak melakukan perdebatan dengan alasan-alasan yang tidak sesuai dengan pandagan islam.
4.      Secara Isu-Isu Sosial, hasil penelitian ini diharapkan dapat membantu pemahaman masyarakat mengenai perdebatan yang tidak diperbolehkan dan harus kita hindari.

E.     Metode Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian yang bersifat Studi Pustaka, yang mana analisis pembahasan menggunakan pendekatan kualitatif. Bentuk analisis ini menekankan pada pengungkapan teori yang meninjau lebih dalam pada pembahasan mengenai perdebatan dalam pandangan islam.
F.      Sistematika Penulisan Makalah
Bab I Pendahuluan, Dalam pendahuluan, disini saya kemukakan latar belakang masalah dalam penelitian yaitu alasan memilih judul, urgensi dan pendekatan/solusi, rumusan masalah berupa kajian apa saja yang akan dikaji dalam makalah ini, tujuan penelitiannya yaitu hal-hal yang ingin dicapai melalui penelitian pendidikan ini, manfaat penelitian berupa teori, kebijakan, praktek dan isu-isu sosial, dan sistematika penulisan makalah yang di bentuk deksriftif.
Bab II Kajian Pustaka, Bab ini menjelaskan secara rinci tentang apa itu perdebatan, bagaimana pandangan agama islam terhadap perdebatan, dan bagaimana hukum perdebatan dalam islam.
Bab III Simpulan dan Saran, Simpulan, berisi tentang uraian-uraian yang mencakup jawaban dari rumusan masalah dan saran disajikan secara relevan baik yang bersifat teoretis maupun praktis serta untuk pembahasan lebih lanjut.

BAB II
PERDEBATAN DALAM PANDANGAN ISLAM
A.    Hakikat Perdebatan
Ikhtilaf, dalam istilah lain disebut mukhalafah (perbedaan), yaitu perbedaan cara pandang antara satu orang dengan orang lain, baik dalam perbuatan atau perkataan. Kata al-khilaf (berbeda) lebih umum maknanya  dibanding dengan kata adh-dhid (berlawanan). Sebab dua hal yang berlawanan pasti berbeda, tapi tiap-tiap yang berbeda belum tentu berlawanan.
Kalau perbedaan masyarakat dalam pendapat telah mengarah kepada pertengkaran, maka kata ikhtilaf dipinjam untuk makna munazaah (saling bertengkar) dan mujadalah (berdebat), Allah SWT berfirman: “maka berselisihlah golongan-golongan yang ada diantara mereka  (yaitu orang-orang yahudi dan nasrani atau sesama yahudi begitu juga sesama nasrani)” [Q.S 19:37].
Kalau salah seorang atau keduannya dari peserta ikhtilaf makin memuncak perbedaannya baik dalam pendapat, pemikiran dan pandangan-serta berusaha untuk menolak, menundukan dan memaksa lawan bicaranya agar mau menerima pemikirannnya, maka perselisihan itu disebut jidal (perdebatan).
Secara bahasa jidal berarti berbeda pendapat dengan cara bertengkar dan saling mengalahkan. Kata jidal diambil dari sebuah ungkapan orang arab, “jadaltul habl” (aku memintal benang). Sebab, orang yang melakukan mujadalah akan berusaha “memintal” lawan bicara dengan sekuat tenaga agar mau menerima pendapatnya.
Adapun yang dimaksud dengan ilmu jidal adalah ilmu yang meneliti beberapa dalil untuk menemukan pendapat hukum yang lebih kuat. Sebagian ulama menyatakan bahwa ilmu jidal adalah ilmu yang bisa mempertahankan pendapat yang ada walaupun salah dan mematahkan pendapat yang lain walaupun benar.
Dari kedua definisi diiatas Nampak adanya pengaruh dari sisi kebahasaan. Sebab, definisi diatas menjelaskan bahwa ilmu jidal adalah ilmu yang tidak berkolerasi dengan dalil-dalil tertentu. Dan jika seperti itu, jidal hanyalah kemampuan dan bakat yang dimiliki  seseorang tanpa ada kaitannya dengan dalil alquran, sunnah rasulullah serta dalil-dalil yang lain.
Menurut kamus bahasa Indonesia kata “Debat” adalah pembicaraan yang berisi berbantah-bantah, saling menyangga mempertahankan pendapat (sifatnya bertukar pikiran) adapun “perdebatan” adalah soal yang diperdebatkan, perbantahan. Jadi, debat adalah kegiatan adu argumentasi antara dua pihak atau lebih, baik secara perorangan maupun kelompok, dalam mendiskusikan dan memutuskan masalah dan perbedaan.
Kalau perdebatan antara dua orang semakin memuncak dan masing-masing berusaha mengalahkan lawan bicara tanpa mempertimbangkan hak dan kebenaran yang sesungguhnya, bahkan sama sekali tidak ada saling pengertian dan indikasi ke arah kesepakatan bersama, maka perbedaan pendapat tersebut disebut asy-syiqaq.
Kata syiqaq digunakan untuk menggambarkan satu posisi sebuah benda yang ada ditempat tertentu yang berjauhan dengan benda yang lain. Seolah-olah kedua benda tersebut tidak bisa bersama-sama dalam satu ruang atau tempat tertentu. Dalam Al-qur’an terdapat sebuah ungkapan:
Jika kamu sekalian takut terjadi syiqaq diantara keduanya (suami istri)…(Q.S 4:35) yang dimaksud syiqaq dalam ayat tersebut adalah perbedaan yang tajam dan berakhir dengan pertengkaran, sehingga membuat pasangan suami istri yang berselisih tersebut, berpisah di dua tempat yang berbeda (bercerai).
Ayat yang sama memuat kata syiqaq dan mengandung arti yang sama adalah: “Sesungguhnya mereka ada dalam perselisihan yang tajam (syiqaq)” (Q.S 2:137)

B.     Perdebatan Dalam Pandangan Islam
Manusia merupakan mahluk sosial, mahluk sempurna dan memiliki adab-adab yang baik dalam kesehariannya. Didalam hubungan antar sesama tentulah dibutuhkan adanya komunikasi untuk saling memberikan ataupun menerima informasi satu sama lain. Dalam beberapa tingkat komunikasi tentu tidak pula bisa dihindari adanya perbedaan pendapat, atau perdebatan. Allah SWT berfirman :
 “Dan di antara manusia ada orang yang ucapannya tentang kehidupan dunia menarik hatimu, dan dipersaksikannya kepada Allah (atas kebenaran) isi hatinya, padahal ia adalah penantang yang paling keras. Dan apabila ia berpaling (darimu), ia berjalan di bumi untuk mengadakan kerusakan padanya, dan merusak tanaman-tanaman dan binatang ternak, dan Allah tidak menyukai kebinasaan,” (Al-Baqarah: 204-205)
Allah SWT berfirman : “Maka sesungguhnya, telah kami mudahkan Al-Qur’an itu dengan bahasamu, agar kamu dapat memberi kabar gembira dengan Al-Qur’an itu kepada orang-orang yang bertakwa, dan agar kamu memberi peringatan dengannya kepada kaum yang membangkang,” (Maryam: 97).
Allah SWT berfirman : “Mereka tidak memberikan perumpamaan itu kepadamu melainkan dengan maksud membantah saja, sebenarnya mereka adalah kaum yang suka bertengkar,” (Az-Zukhruf : 58).
Diriwayatkan dari Abu Umamah r.a., ia berkata: “Rasulullah SAW.bersabda, ‘Tidaklah sesat suatu kaum setelah mendapat petunjuk kecuali karena mereka gemar berdebat. Kemudian Rasulullah saw. membacakan ayat, ‘Mereka tidak memberikan perumpamaan itu kepadamu melainkan dengan maksud membantah saja, sebenarnya mereka adalah kaum yang suka bertengkar.’ (Az-Zukhruf: 58).” (Hasan, HR Tirmidzi [3253], Ibnu Majah [48], Ahmad [V/252-256], dan Hakim [II/447-448]).
Diriwayatkan dari ‘Aisyah r.a., ia berkata, “Rasulullah SAW. bersabda, ‘Orang yang paling dibenci Allah adalah orang yang paling keras penantangnya lagi lihai bersilat lidah’.” (HR Bukhari [2457] dan Muslim [2668]).
Diriwayatkan dari Ziyad bin Hudair, ia berkata, “Umar pernah berkata kepadaku, ‘Tahukah engkau perkara yang merobohkan Islam?‘Tidak! Jawabku.’ Umar berkata, ‘Perkara yang merobohkan Islam adalah ketergelinciran seorang alim, debat orang munafik tentang Al-Qur’an dan ketetapan hukum imam yang sesat’.” (Shahih, HR Ad-Darimi [I/71], al-Khatib al-Baghdadi dalam kitab al-Faqiih wal Mutafaqqih [I/234], Ibnul Mubarak dalam az-Zuhd [1475], Abu Nu’aim dalam al-Hilyah [IV/196]).
Diriwayatkan dari Abu Ustman an-Nahdi, ia berkata, “Aku duduk di bawah mimbar Umar, saat itu beliau sedang menyampaikan khutbah kepada manusia. Ia berkata dalam khutbahnya, Aku mendengar Rasulullah SAW. bersabda, ‘Sesungguhnya, perkara yang sangat aku takutkan atas ummat ini adalah orang munafik yang lihai bersilat lidah’.” (Shahih, HR Ahmad [I/22 dan 44], Abu Ya’la [91], Abdu bin Humaid [11], al-Firyabi dalam kitab Shifatul Munaafiq [24], al-Baihaqi dalam Syu’abul Iimaan [1641]).
Diriwayatkan dari Abu Hurairah r.a., dari Rasulullah “Perdebatan SAW tentang Al-Qur’an dapat menyeret kepada kekufuran.” (HR Abu Daud [4603], Ahmad [II/286, 424, 475, 478, 494, 503 dan 528], Ibnu Hibban [1464]).
Diriwayatkan dari ‘Abdullah bin ‘Amru r.a., ia berkata, “Pada suatu hari aku datang menemui Rasulullah SAW pagi-pagi buta. Beliau mendengar dua orang lelaki sedang bertengkar tentang sebuah ayat. Lalu beliau keluar menemui kami dengan rona wajah marah. Beliau berkata, ‘Sesungguhnya, perkara yang membinasakan ummat sebelum kalian adalah perselisihan mereka al-Kitab’.” (HR Muslim [2666]).
Diriwayatkan dari ‘Amru bin Syu’aib, dari ayahnya, dari kakeknya (yakni ‘Abdullah bin ‘Amru r.a.), bahwa suatu hari Rasulullah SAW mendengar sejumlah orang sedang bertengkar, lantas beliau bersabda, “Sesungguhnya, ummat sebelum kalian binasa disebabkan mereka mempertentangkan satu ayat dalam Kitabullah dengan ayat lain. Sesungguhnya Allah menurunkan ayat-ayat dalam Kitabullah itu saling membenarkan satu sama lain. Jika kalian mengetahui maksudnya, maka katakanlah! Jika tidak, maka serahkanlah kepada yang mengetehuinya.” (Hasan, HR Ibnu Majah [85], Ahmad [II/185, 195-196], dan al-Baghawi dalam Syarhus Sunnah [121]).
Nabi Muhammad S.A.W bersabda; “Aku akan menjamin sebuah rumah di dasar surga bagi orang yang meninggalkan debat meskipun dia berada dalam pihak yang benar. Dan aku menjamin sebuah rumah di tengah surga bagi orang yang meninggalkan dusta meskipun dalam keadaan bercanda. Dan aku akan menjamin sebuah rumah di bagian teratas surga bagi orang yang membaguskan akhlaknya.” (HR. Abu Dawud dalam Kitab al-Adab, hadits no 4167. Dihasankan oleh al-Albani dalam as-Shahihah [273] as-Syamilah).
Nabi Sulaiman ‘alaihissalam berkata kepada putranya: “Tinggalkanlah mira’ (jidal,berdebat karena ragu-ragu dan menentang) itu, karena manfaatnya sedikit. Dan ia membangkitkan permusuhan di antara orang-orang yang bersaudara.” (Ad-Darimi: 309, al Baihaqi, Syu’abul Iman: 1897).
Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhumaa “Cukuplah engkau sebagai orang zhalim bila engkau selalu mendebat. Dan cukuplah dosamu jika kamu selalu menentang, dan cukuplah dosamu bila kamu selalu berbicara dengan selain dzikir kepada Allah.” (al-Fakihi dalam Akhbar Makkah).
Abud Darda radhiyallahu ‘anhu “Engkau tidak menjadi alim sehingga engkau belajar, dan engkau tidak disebut mengerti ilmu sampai engkau mengamalkannya. Cukuplah dosamu bila kamu selalu mendebat, dan cukuplah dosamu bila kamu selalu menentang. Cukuplah dustamu bila kamu selalu berbicara bukan dalam dzikir tentang Allah.” (Darimi: 299).
Muslim Ibn Yasar rahimahullah “Jauhilah perdebatan, karena ia adalah saat bodohnya seorang alim, di dalamnya setan menginginkan ketergelincirannya.” (Ibnu Baththah, al- Ibanah al-Kubra; Darimi: 404).
Umar ibn Abdul Aziz rahimahullah “Barangsiapa menjadikan agamanya sebagai sasaran untuk perdebatan maka ia akan banyak berpindah-pindah(agama).” (Ibnu Baththah, al-Ibanah al-Kubra: 565)

C.     Hukum Perdebatan Dalam Islam
Ayat-ayat dan hadits-hadits yang disebutkan di atas secara tegas melarang jidal dan perdebatan. (Akan tetapi) siapa saja yang mentadabburi ayat-ayat Al-Qur’an dan hadits-hadits Rasulullah serta atsar para Salaf tentu akan mendapati anjuran beradu argumentasi dan berdebat. Di antaranya adalah firman Allah SWT “Serulah (manusia) kepada jalan Rabb-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang lebih baik.” (An-Nahl: 125).
Allah SWT berfirman : “Dan janganlah kamu berdebat dengan Ahli Kitab, melainkan dengan cara yang paling baik,” (Al-Ankabuut: 46).
Ayat-ayat dalam Kitabullah tidaklah bertentangan satu sama lainnya, bahkan saling membenarkan. Dari situ dapatlah kita ketahui bahwa jidal dan debat yang dicela dalam Al-Qur’an tidak sama dengan jidal dan debat yang dianjurkan. Jidal dan debat itu ada yang terpuji dan ada yang tercela. Kedua jenis itu sama-sama disebutkan dalam Al-Qur’an. Adapun jidal yang tercela disebutkan dalam firman Allah SWT: “(Yaitu) orang-orang yang memperdebatkan ayat-ayat Allah tanpa alasan yang sampai kepada mereka. Amat besar kemurkaan (bagi mereka) di sisi Allah dan di sisi orang-orang yang beriman. Demikianlah Allah mengunci mati hati orang yang sombong dan sewenang-wenang.(QS.Al-Mu’min: 35)
Jadi jelaslah, jidal yang tercela itu adalah jidal tanpa hujjah, jidal dalam membela kebathilan dan berdebat tentang Al-Qur’an untuk mencari-cari fitnah dan takwil bathil. Adapun jidal yang terpuji adalah nasihat untuk Allah, Rasul-Nya, Kitab-Nya, para imam dan segenap kaum Muslimin. Nabi Nuh as sering beradu argumentasi dengan kaumnya hingga beliau menegakkan hujjah atas mereka dan menjelaskan kepada mereka jalan yang benar.
Allah SWT berfirman : “Hai Nuh, sesungguhnya kamu telah berbantah dengan kami, dan kamu telah memperpanjang bantahanmu terhadap kami,” (Huud: 32).
Demikianlah sunnah Rasulullah saw. dan sirah (sejarah hidup) generasi Salaf terdahulu r.a. Jadi jelaslah, jidal yang terpuji tujuannya adalah membela kebenaran dan untuk mencari kebenaran, untuk menampakkan kebathilan dan menjelaskan kerusakannya. Adapun jidal yang tercela adalah sikap menentang dan bersitegang urat leher dalam adu argumentasi untuk membela kebathilan dan menolak kebenaran.
Ibnu Hibban berkata (IV/326), “Jika seseorang berdebat tentang Al-Qur’an, maka apabila Allah tidak melindunginya ia akan terseret kepada keraguan dalam mengimani ayat-ayat mutasyabihat. Jika sudah disusupi keraguan, maka ia akan menolaknya. Rasulullah saw. menyebutnya sebagai kekufuran yang merupakan salah satu bentuk penolakan yang berpangkal dari perdebatan.”
Oleh sebab itu, seorang Muslim harus mengimani seluruh ayat-ayat Al-Qur’an, yang muhkam maupun yang mutasyaabih. Karena semuanya berasal dari Allah. Jika ia tidak mengetahui, hendaklah bertanya kepada ahli ilmu atau menyerahkan masalah kepada orang yang mengetahuinya. Ia tidak boleh bertanya kepada orang yang tidak mengetahuinya.
Perselisihan tentang Al-Qur’an dapat menyeret kepada sikap mempertentangkan satu ayat dengan ayat lainnya. Kemudian dari situ akan muncul sikap melepaskan diri dari hukum-hukumnya dan mengubah hukum halal haramnya. Kemudian akan berlakulah sunnatullah pada ummat terdahulu atas orang-orang yang saling berselisih itu, yakni kebinasaan dan kehancuran.
Perdebatan dalam agama yang tidak sesuai dengan aturan syar’i merupakan salah satu di antara penyakit lisan yang sangat berbahaya. Dan merupakan sebab terjadinya perpecahan, pemutusan hubungan, saling menjauhi di antara sesama kaum muslimin. Perdebatan juga bisa menjadi sebab keras dan sesaknya hati karena bisa melahirkan kedengkian kepada kaum muslimin lainnya, ditambah dengan banyaknya waktu yang terbuang akibat melakukan perdebatan ini dan kurangnya manfaat yang lahir darinya.
Karenanya Allah Ta’ala dan Rasul-Nya telah menutup semua wasilah menuju kepada perdebatan yang tidak bermanfaat, dengan memberikan janji surga kepada orang yang meninggalkan perdebatan walaupun dia yang benar, dan sebaliknya Allah sangat murka kepada orang-orang yang dengan mudahnya terjun dalam perdebatan tanpa mengindahkan aturan- aturan syariat di dalamnya.
Dan telah benar Allah dan Rasul-Nya, bahwa setiap orang yang terjun ke dalam perdebatan yang tidak berguna pasti akan berakhir pada kesesatan, kecuali mereka yang masih dirahmati oleh Allah, dan sangat sedikit sekali jumlah mereka ini. Tidakkah kita mengambil pelajaran dari orang-orang yang telah berlalu sebelum kita, yang mereka ini lebih berilmu dibandingkan kita, bagaimana akhirnya mereka terjerumus ke dalam kesesatan akibat mereka berdebat dalam masalah agama, walaupun ada segelintir di antara mereka yang masih bisa kembali kepada kebenaran. Sebut saja di antaranya: Jahm bin Shafwan penyebar mazhab Jahmiah, Washil bin Atha’ pencetus mazhab Mu’tazilah, Imam Al- Ghazali, Fakhrur Razi, Asy- Syahrastani, dan selainnya.
Karenanya para ulama di setiap zaman menegaskan dalam kitab-kitab akidah mereka, bahwa di antara ciri khas Ahlussunnah adalah menjauhi semua bentuk perdebatan. Karenanya siapa saja yang terjun dalam perdebatan dalam agama maka dia telah bermain-main di daerah terlarang, yang bisa mengeluarkan dia dari Ahlussunnah. Maka ini menunjukkan bahwa hukum asal perdebatan dalam agama adalah haram, kecuali jika terpenuhi syarat- syaratnya, yaitu:
1. Ikhlas guna meninggikan kalimat Allah, bukan dengan niat untuk menjadi tenar.
2. Orang yang berdebat harus mapan keilmuannya dalam masalah yang dia perdebatkan. Jika dia orang yang jahil atau ilmunya masih setengah- setengah maka diharamkan atasnya
3. Dia yakin -atau dugaan besar- dia bisa menang. Jika dia tidak yakin bisa menang maka dia wajib meninggalkan perdebatan itu.
4. Ada kemungkinan pihak lawan jika dia kalah maka dia akan kembali kepada kebenaran. Jika pihak lawan diketahui sebagai orang yang keras kepala dan tidak akan bertaubat walaupun kalah maka tidak boleh berdebat dengannya.
5. Jika dia tidak berdebat maka kebenaran akan tertutupi dan kebatilan yang akan menyebar.
6. Ada maslahat (kebaikan) darinya, baik yang kembalinya kepada pihak lawan dengan dia bertaubat maupun yang kembalinya kepada masyarakat dengan mereka menjauhi pihak lawan tersebut.
Adapun jika tidak ada manfaatnya sama sekali, walaupun mereka kalah tapi masyarakat tetap tidak goyah dalam mengikuti mereka maka ini perdebatan itu adalah perbuatan sia-sia.
Dari Abu Hurairah RA, bahwasannya Nabi SAW bersabda: "Hentikanlah (menanyai)ku tentang apa yang aku abaikan untuk kalian. Sesungguhnya ummat yang sebelum kalian telah binasa karena mereka banyak bertanya dan mendebat para nabi mereka. Jika aku melarang kalian tentang sesuatu maka jauhilah dan jika aku memerintahkan kalian terhadap sesuatu maka lakukanlah semampu kalian." (Hadits Riwayat Bukhari dan Muslim)
Suatu hari Rasulullah tengah berkhutbah di hadapan manusia. "Wahai manusia sekalian, Allah telah mewajibkan atas kalian haji," teriak beliau. Tiba-tiba ada seorang pendengar bertanya, "Apakah setiap tahun wahai Rasulullah?" Tapi beliau tidak menjawab. Orang itu pun mengulang pertanyaannya hingga tiga kali. Kemudian beliau berkata, "Seandainya aku katakan ya, tentu itu wajib hukumnya, tapi semampumu." Selanjutnya beliau menyabdakan hadits di atas.
Dalam peristiwa yang menjadi sabab wurud (sebab munculnya) hadits tersebut Nabi secara terang-terangan melarang debat.
Dalam hadits itu, Rasulullah mengajarkan kepada kaum Muslimin untuk efisien dalam berbicara dengan hanya menanyakan hal yang penting-penting saja. Banyak orang memburu jawaban dengan pertanyaan yang tidak berguna karena semata-mata ingin mencari keasyikan berdebat. Selain tidak bermakna, tindakan ini jelas akan menyia-nyiakan waktu dan berpeluang untuk menimbulkan penyakit hati ghil (tidak suka) yang bisa berujung pada permusuhan.
Perilaku demikian adalah ciri khas Bani Israil (Yahudi) seperti diabadikan Allah dalam surat al-Baqarah ayat 67-74. Ketika itu mereka diperintahkan untuk menyembelih seekor sapi. Tetapi mereka sengaja mempermainkan Nabi dan mempersulit diri mereka sendiri dengan pertanyaan yang dibuat-buat.
Lain halnya dengan pertanyaan (diskusi) yang dimaksudkan sebagai proses belajar-mengajar. Hal itu justru menjadi keharusan asal adabnya tetap dijaga. Allah berfirman, "Maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui." (an-Nahl: 43) Atau juga dalam rangka da'wah yang dalam al-Qur'an disebut dengan mujadalah. Diskusi yang didasari oleh semangat kasih sayang dan kebenaran ini justru diperintahkan oleh Allah. "Wajaadilhum billatii hiya ahsan." Dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. (an-Nahl:125).
Contoh debat yang tidak membawa faedah misalnya adalah pembahasan yang `liar' tentang hal-hal yang gaib misalnya Allah, hari kiamat, ruh, masalah hidup ummat manusia dan hal-hal lain yang hanya dapat diketahui lewat dalil naqli saja. Pertanyaan-pertanyaan itu bila difahami secara mendalam hanya akan semakin membingungkan dan menambah keraguan sehingga bisa berakhir pada kesesatan. Telah diriwayatkan bahwa Nabi Shalallaahu `alaihi wa sallam berkata, "Ummat manusia itu akan selalu bertanya-tanya sehingga nanti dikatakan ini adalah yang telah menciptakan semua makhluk, lalu siapa yang menciptakan Allah?"
Kebiasaan berdebat adalah penyakit. Untuk mengobatinya harus ditempuh sejumlah solusi.
Pertama, memenuhi kalbu dengan ma'rifat, tauhid dan ketakwaan kepada Allah. Dengan cara ini seseorang akan selalu bersikap dan berucap dengan niat dan metode ilahiyyah. Apa yang dilakukannya dalam diskusi tidak diorientasikan untuk mencari kemenangan, tapi kebenaran. Sehingga ia akan meninggalkan ego pribadinya serta menjauhi sikap kibr dan merendahkan orang lain.
Kedua, Senantiasa memelihara adab Islami dalam berbicara, mengkritik, bertanya dan menyampaikan pendapat. Antara lain, dengan cara yang bijaksana, hormat, lembut dan lain-lain. Dengan begitu, lawan bicara akan merasa dihargai sehingga terjadi komunikasi yang indah dan bermanfaat, jauh dari egoisme dan semangat saling mengalahkan.
Ketiga, menghayati akibat buruk yang timbul dari kebiasaan berdebat. Antara lain tidak mendorong orang untuk beramal, tapi hanya memperbanyak bicara. Padahal kata Umar bin Khatab, banyak bicara maka banyak bias, banyak bias berarti banyak dosa dan banyak dosa berarti masuk neraka.
Keempat, belajar bersikap jantan dan obyektif dalam menerima kebenaran dari orang lain.
Kelima, mengobati hati dari penyakit ujub, ghurur dan takabbur.
Keenam, berusaha bergaul dengan komunitas (jama'ah) yang jauh dari kultur debat dan cuma banyak bicara.
Dengan menghindari diri dari debat setiap muslim akan menjadi mulia, baik di sisi manusia dan Allah. Terlebih, Allah juga akan menjadikannya sebagai ahli surga.  
Selanjutnya, untuk lebih memperjelas lagi, disini saya memaparkan sebuah cerita yang erat kaittannya dengan permasalahan yang dibahas dalam makalah ini. “Suatu saat Yunus bin abdul A’la, seorang faqih mesir terlibat perdebatan dengan Imam As-syafi’I”. Namun tidak seperti biasanya yang terjadi pada mereka yang terlibat perdebatan. Yunus tidak marah, bahkan beliau amat terkesan dengan sikap Imam As-Syafi’I, hingga beliau mengatakan, “Aku tidak melihat orang berakal melebihi As-Syafi’I, aku mendebatnya tentang suatu masalah pada suatu hari, kemudian kami berpisah, lalu dia menemuiku, dan menggandeng tanganku, lalu berkata kepadaku: “Wahai Abu Musa, bukankah lebih baik kita tetap berteman walau kita tidak sepakat dalam suatu masalah?”
Mengenai sifat mulia Imam As-Syafi’I putra dalam perdebatan abu Utsman, putra beliau juga pernah mengatakan: “Aku sekali-kali tidak pernah mendengar ayahku mendebat seseorang dengan meninggikan suaranya” (Tahdzib Al-asma’wa Al-Lughat, 1/66)
Bahkan ahmad bin Khalid bin Khalal juga pernah mendengar sendiri bahwa Imam As-Syafi’I mengatakan, “ketika aku mendebat seseorang aku tidak menginginkan dia jatuh kepada kesalahan.” (Tawali At-Ta’sis hal.65)
As-syafi’ juga berkata, “Aku berdebat tidak hanya untuk  menjatuhkan orang.” (Tahdzib Al-Asma Wa Al-lughat, 1/66)
Demikianlah ulama itu berdebat, tidak ada dampak negatif dari perdebatan itu, karena mereka berdebat untuk mencari kebenaran, bukan untuk merendahkan, mencari atau memprertahankan pengikut. Mereka tidak berdebat agar dipandang alim (pandai), serta karena tujuan duniawi lainnya. Sehingga , perdebatannya tetap pada koridor adab dan akhlaq.
Imam Al-ghazali  mengumpamakan bahwa orang yang berdebat seperti orang mencari barang yang hilang. Ia tidak membeda-bedakan apakah barang itu ia temukan sendiri atau ditemukan orang lain yang membatunya. Ia  melihat lawan debatnya seperti partner, bukan musuh. Ia mestinya berterimakasih jika lawannya menunjukan  kepadanya kesalahannya, seperti seseorang yang menempuh  suatu jalan untuk mencari barangnya yang hilang, namun ada orang lain yang memberi tahu bahwa ia harus menempuh jalan lain untuk mendapatkan barangnya.
Perdebatan yang demikianlah yang ditempuh para sahabat, tabi’in dan para imam besar terdahulu. Umar bin Al-khathtab Radhiyallahu ‘anhu sendiri ketika diingatkan oleh seorang wanita, saat beliau berkhutbah di hadapan khalayak pun mengatakan jujur ketika melihat bahwa yang dikatakan wanita itu benar, “Umar salah, wanita itu benar!”  Demikian pula Ali Radiyallahu ‘anhu menjawab pertanyaan seorang laki-laki, kemudian ada yang mengkritik beliau, “Tidak demikain wahai Amirul Mukminin, namun demikian-demikian.”  Maka beliau mengatakan , “Anda benar, saya salah”. Sebagaimana juga para sahabat   juga bermusyawarah mengenai had bagi peminum khamr dan beberapa masalah dalam faraidh.
Adapun perdebatan orang-orang setelah masa para imam berlalu sudah berubah. Imam Alghazali sendiri mengkritik keras orang-orang sezaman dengan beliau yang melakukan perdebatan bukan sebagai bentuk kerjassama untuk mencari kebenaran dengan penuh keheranan, “Lihatlah para pendebat di sebagaimana juga emosi mereka luap, lantas berpayah-payah, dengan seluruh kemampuan untuk menentangnya. Bagaimana ia mencela perdebatannya seumur hidupnya, kemudian dia tidak malu dengan menyerupakan diri sebagai sahabat dalam sharing untuk mencari kebenaran?” (Al-Ihya, 1/74)
Debat demikianlah yang menhancurkan umat islam sendiri, sebagaimana disebutkan dalam sebuah Hadits, “Tidak ada kaum yang tersesat dari hidayah yang mereka ada didalamnya, kecuali didatangkan kepada merka perddebatan.” (Riwayat At-Tirmidzi, Hadits hasan shahih).
Perdebatan yang bertujuan untuk merendahkan pihak  lain, atau menonjolkan diri sendiri serta mencari dunia, merupakan sumber timbulnya banyak maksiat. Imam Al-Ghazali menyebutkan beberapa penyakit yang menyerang mereka yang mencampakkan diri dalam aktivitas ini:
1.      Hasad (Iri) pendebat terkadang menang dan kalah. Kadang ada yang memujinya, dan kadang pujian itu diberikan untuk lawannya. Kondisi semacam ini bisa menimbulkan rasa hasad pada hatinya, menginginkan agar lawannya kehilangan nikmat, termasuk ilmu, kesempatan atau lainnya.
2.      Takabur dan riya’. Mereka yang suka berdebat dengan tujuan menonjolkan diri akan terjangkit penyakit takabur. Ia akan berusaha merendahkan lawan debatnya, dan meninggikan dirinya sendiri di hadapan orang lain. Kaddang ia memberika pernyataan bahwa lawannya bodoh, tidak paham atau memilikai sedikit ilmu. Disamping itu, penyakitnya sering menjangkit mereka, karena ingin menampakkan apa yang ia rasa sebagai kelebihan kepada manusia.
3.      Memuji diri sendiri. Pendebat sering kali menyanjung dirinya sendiri disaat berdebat. Kadang ia mengatakan, “Saya menguasai ilmu ini”, “Saya hafal Hadits ini”. Hal itu dilakukan untuk mempromosikan apa yang ia sampaikan.
4.      Tajassus (mencari-cari aib). Mencari-cari “aurat” manusia seringkali dilakukan pendebat terhadap lawannya. Terkadang ia mencari informasi sampai ke negri dimana lawannya tinggal, untuk mencari hal-hal buruk darinya, yang ia simpan pengetahuan itu untuk dijadikan bekal untuk menjatuhkan lawannya.
5.      Ghibah. Yang kadang tidak bisa dihindarkan dari pendebat yang didasari niat yang salah adalah menceritakan dan menyebarkan kelemahan dan kekurangan lawannya kepada pihak lain, setelah ia melakukan perdebatan dengan seseorang.
6.      Nifaq. Yang dimaksud di sini adalah perdebatan Dhahir pendebat yang bertentangan dengan apa yang ada di dalam hati. Pendebat biasanya basa-basi, memperlihatkan keramahan dan kegembiraan jika bertemu dengan lawannya, namun sejatinya dalam hatinya terbersit kebencian yang cukup besar.
Jika demikian, dampak buruk dari perdebatan yang ditimbulkan akibat salah niat maka hendaknya seseorang mempertanyakan kembali niatnya. Ketika ia memutuskan untuk berdebat baik dengan lisan maupun tuliskan hendaknya meluruskan niatnya, sehingga terhindar dari penyakit-penyakit hati yang cukup membahayakan dirinya sendiri.

BAB III
PENUTUP
A.    Simpulan
Jadi, pedebatan yang diharamkan di dalam islam itu adalah perdebatan yang tercela. Yaitu perdebatan atau jidal yang tanpa hujjah, atau jidal dalam membela kebathilan dan berdebat tentang Al-Qur’an untuk mencari-cari fitnah dan takwil bathil.
Seperti dalam firman Allah SWT: “(Yaitu) orang-orang yang memperdebatkan ayat-ayat Allah tanpa alasan yang sampai kepada mereka. Amat besar kemurkaan (bagi mereka) di sisi Allah dan di sisi orang-orang yang beriman. Demikianlah Allah mengunci mati hati orang yang sombong dan sewenang-wenang.(QS.Al-Mu’min: 35)
Oleh karena itu, perdebatan dalam agama yang tidak sesuai dengan aturan syar’i merupakan salah satu di antara penyakit lisan yang sangat berbahaya, dan merupakan penyebab terjadinya suatu perpecahan.
B.     Saran
Dengan dibuatnya makalah ini, disini penulis menyarankan untuk kita semua agar bisa lebih berhati-hati jika melakukan perdebatan yang menimbulkan dampak negatif setelahnya atau saat dilakukannya perdebatan itu. Karena pada dasarnya perdebatan yang baik itu adalah untuk mencari solusi atau kebenaran bukan untuk saling menjatuhkan, atau menonjolkan diri sendiri.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar